Kamis, 31 Mei 2018

SELAMATAN ATAU BANCAAN


Selametan adalah sebuah tradisi ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Selametan juga dilakukan oleh masyarakat Sunda dan Madura. Selametan adalah suatu bentuk acara syukuran dengan mengundang beberapa kerabat atau tetangga . Secara tradisional acara syukuran dimulai dengan doa bersama, dengan duduk bersila di atas tikar, melingkari nasi tumpeng dengan lauk pauk.
Praktik upacara selametan sebagaimana yang diungkapkan oleh Hildred Geertz tersebut pada umumnya dianut oleh kaum Islam Abangan, sedangkan bagi kaum Islam Putihan (santri) praktik selametan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima, kecuali dengan membuang unsur-unsur syirik yang menyolok seperti sebutan dewa-dewa dan roh-roh. Karena itu bagi kaum santri, selamatan adalah upacara doa bersama dengan seorang pemimpin atau modin yang kemudian diteruskan dengan makan-makan bersama sekadarnya dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah Yang maha Kuasa.
Slametan dilakukan untuk merayakan hampir semua kejadian, termasuk kelahiran, kematian,pernikahan, pindah rumah, dan sebagainya. Geertz mengkategorikan mereka ke dalam empat jenis utama:

  • Yang berkaitan dengan kehidupan: kelahiran, khitanan, pernikahan, dan kematian
  • Yang terkait dengan peristiwa perayaan Islam
  • Bersih desa ("pembersihan desa"), berkaitan dengan integrasi sosial desa.
  • Kejadian yang tidak biasa misalnya berangkat untuk perjalanan panjang, pindah rumah, mengubah nama, kesembuhan penyakit, kesembuhan akan pengaruh sihir, dan sebagainya.
Selamatan

ASAL KATA

Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, Clifford Geertz slamet berarti ora ana apa-apa (tidak ada apa-apa)
Upacara slametan merupakan salah satu tradisi yang dianggap dapat menjauhkan diri dari mala petaka. Slametan adalah konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri yang ³lemah´ di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia.


Banyak ditemukan ‘Selamatan’ atau sedekah makanan oleh umat Islam, baik kelahiran, pindah rumah, khitanan dan sebagainya. Sebagian menilai bahwa ‘Selamatan’ seperti itu adalah tradisi non Muslim. Tentu hal ini tidak benar, sebab sedekah makanan termasuk menjalankan ajaran agama yang paling baik:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو – رضى الله عنهما – أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ « تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ »


“Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Saw: Islam apakah yang paling baik? Nabi menjawab: Kamu memberikan makanan dan menyampaikan salam kepada orang yang kamu kenal maupun tidak” (HR al-Bukhari)

Tradisi makan bersama sudah diamalkan oleh umat Islam sejak masa sahabat:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ قَالَ وَفَدْنَا إِلَى مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِى سُفْيَانَ وَفِينَا أَبُو هُرَيْرَةَ فَكَانَ كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا يَصْنَعُ طَعَامًا يَوْمًا لأَصْحَابِهِ فَكَانَتْ نَوْبَتِى فَقُلْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ الْيَوْمُ نَوْبَتِى. فَجَاءُوا إِلَى الْمَنْزِلِ وَلَمْ يُدْرِكْ طَعَامُنَا فَقُلْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ لَوْ حَدَّثْتَنَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- حَتَّى يُدْرِكَ طَعَامُنَا فَقَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ الْفَتْحِ

“Abdullah bin Rabah berkata: Kami bertamu ke Muawiyah bin Abi Sufyan. Diantara kami ada Abu Hurairah. Masing-masing kami membuat makanan sehari untuk para sahabat. Maka giliran saya, saya berkata: “Wahai Abu Hurairah, hari ini giliran saya”. Mereka datang ke tempat kami namun makanan belum ada. Maka saya berkata: “Wahai Abu Hurairah, sudilah engkau menceritakan kepada kami dari Rasulullah Saw sehingga ada makanan untuk kami.” Kemudian Abu Hurairah berkisah tentang penaklukan kota Makkah” (Riwayat Muslim)

Bahkan dalam madzhab Syafiiyah, mengundang banyak orang ketika mendapatkan kebahagiaan disebut sebagai walimah (resepsi):

وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه : تَقَع الْوَلِيمَة عَلَى كُلّ دَعْوَة تُتَّخَذ لِسُرُورٍ حَادِث مِنْ نِكَاح أَوْ خِتَان وَغَيْرهمَا ، لَكِنَّ الْأَشْهَر اِسْتِعْمَالهَا عِنْد الْإِطْلَاق فِي النِّكَاح وَتَقَيُّد فِي غَيْره فَيُقَال وَلِيمَة الْخِتَان وَنَحْو ذَلِكَ

“Asy-Syafii dan para muridnya berkata: Walimah dapat terjadi pada setiap undangan karena ada kenikmatan yang baru diperoleh, seperti nikah, khitan dan lainnya. Namun yang masyhur adalah penggunaannya untuk nikah jika dimutlakkan. Di selain nikah ada penjelasnya, seperti walimah khitan dan sebagainya”

MANFAAT SELAMATAN

1. Merupakan salah satu sarana dakwah islamiyah.
2. Merupakan tanda syukur kepada Allah atas segala ni'mat dan karuniaNya.
3. Dapat merekatkan tali persaudaraan antara sesama keluarga dan anggota masyarakat.
4. Doa yang dilakukan secara berjamaah lebih mudah terkabul dibanding doa sendiri.
5. Selamatan untuk orang yang meninggal dapat mengingatkan kita tentang kematian yang mesti terjadi.
6. Bacaan-bacaan dalam selamatan dapat menjadikan kesejukan rohani.
7. Hidangan dalam selamatan merupakan shadaqah dari shahibul hajat.


MAKNA SELAMATAN

Disini kami mengambil makna dari "Selamatan Kematian" :

Makna simbolis Tradisi Slametan Kematian Bagi Masyarakat Penganut Islam Kejawen

Praktik upacara selamatan atau tahlilan pada umumnya dianut oleh kaum Islam Abangana atau islam kejawen, sedangkan bagi kaum Islam Putihan (santri) praktik selamatan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima, kecuali dengan membuang unsur-unsur syirik yang menyolok. Karena itu bagi kaum santri, selamatan adalah upacara do’a bersama dengan seorang pemimpin yang kemudian diteruskan dengan makan-makan bersama sekedarnya dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah Yang maha Kuasa. Tahlil secara bahasa berasal dari sighat mashdar dari kata “hallala” yang berarti membaca kalimat la ilaha illallah. Tahlilan adalah mengunakan atau memakai bacaan tahlil untuk tujuan tertentu. Sekarang tahlilan digunakan sebagai istilah bagi perkumpulan orang untuk melakukan doa bersama bagi orang yang sudah meninggal.
Selamatan Kematian

Setelah jenazah dikebumikan terdapat tradisi selametan yang haruh dijalankan. Bagi masyarakat, selamatan yang berkenaan dengan kematian tidak hanya dilakukan pada malam pertama (turun tanah) saja, tetapi juga malam ke-2 (mendua hari), ke-3 (meniga hari), ke-7 (memitung hari), ke-25 (mayalawi), ke-40 (mematang puluh),  yang disebut sebagai dan ke-100 hari (manyaratus hari), dan 1000 hari (nyewu) terhitung dari meninggalnya seseorang. Dalam setiap slametan terdapat tahlilan yang harus dilaksanakan. Cara menentukan hari-hari selamatan kematian orang Jawa memiliki teknik tersendiri. Untuk menentukan hari itu, mereka menggunakan perhitungan hari dan pasaran dengan perhitungan:
  1.  Ngesur tanah dengan rumus jisarji, maksudnya hari ke satu dan pasaran juga ke satu.
  2.  Nelung dina dengan rumuslusaru, yaitu hari ketiga dan pasaran ketiga.
  3.  Menujuh hari (mitung dina) dengan rumus tusaro, yaitu hari ketujuh dan pasaran kedua.
  4. 40 hari (matangpuluh dina) dengan rumus masarama, yaitu hari ke lima dan pasaran ke lima.
  5. 100 hari (nyatus dina) dengan rumus rosarama, yaitu hari ke dua pasaran ke lima.
  6. Peringatan tahun pertama (mendhak pisan) dengan rumus patsarpat yaitu hari ke empat dan pasaran ke empat.
  7. Perigatan seribu hari (nyewu) dengan rumus nemasarma yaitu hari ke enam dan pasaran ke lima.
Dalam pemahaman orang Jawa, bahwa nyawa orang yang telah mati itu sampai dengan waktu tertentu masih berada di sekeliling keluarganya. Oleh karena itu kita sering mendengar istilah selametan yang dilakukan untuk orang yang telah meninggal. Berikut diantaranya ritual yang dilakukan menurut adat istiadat Jawa. Pertama, Upacara ngesur tanah (geblag) Upacara ngesur tanah merupakan upacara yang diselenggarakan pada saat hari meninggalnya seseorang. Upacara ini diselenggarakan pada sore hari setelah jenazah dikuburkan. Istilah sur tanah atau ngesur tanah berarti menggeser tanah (membuat lubang untuk penguburan mayat). Makna sur tanah adalah memindahkan alam fana ke alam baka dan wadag semula yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga. Sesajen upacara ngesur tanah: bermakna memindahkan roh jenazah dari alam fana ke alam baka. Kematian tersebut didoakan oleh para ahli waris dengan berbagai sesajen yang tujuannya mengharap keselamatan bagi orang yang meninggal dan mendapat ampunan dari Tuhan. Kedua, upacara tigang dinten (tiga hari). Upacara ini merupakan upacara kematian yang diselenggarakan untuk memperingati tiga hari meninggalnya seseorang. Peringatan ini dilakukan dengan kenduri dengan mengundang kerabat dan tetangga terdekat. Sesajen upacara tiga hari: untuk menyempurnakan 4 perkara yang disebut anasir yaitu bumi, api, angin, dan air. Ketiga, upacara pitung dinten (tujuh hari). Upacara ini untuk memperingati tujuh hari meninggalnya seseorang. Sesajen upacara tujuh hari : maksudnya menyempurnakan pembawaan dari ayah dan ibu berupa darah, daging, sungsum, jeroan (isi perut), kuku, rambut, tulang, dan otot. Keempat, upacara sekawan dasa dinten (empat puluh hari). Upacara ini untuk memperingati empat puluh hari meninggalnya seseorang. Biasanya peringatannya dilakukan dengan kenduri. Sesajen upacara empat puluh hari : maksudnya untuk menyempurnakan semua yang bersifat badan wadag (jasad).Kelima, upacara nyatus (seratus hari). Upacara ini untuk memperingati seratus hari meninggalnya seseorang. Tata cara dan bahan yang digunakan untuk memperingati seratus hari meninggalnya pada dasarnya sama dengan ketika melakukan peringatan empat puluh hari. Maksud ritual ini untuk menyempurnakan kulit, daging, dan jeroan-nya. Kelima, nyewu atau seribu hari, merupakan peringatan yang dilakukan untuk orang yang sudah meninggal setelah seribu hari. Maksud ritual untuk menyempurnakan semua rasa dan bau hingga semua rasa dan bau sudah lenyap. Dari kesemua tradisis tersebut sampai sekarang masih dijalankan oleh masyarakat untuk menghormati jenazah dan mengirimkan doa bagi jenazah. Bagi sebagian masyarakat yang tidak melaksanakna akan mendapatkan gunjingan dari orang lain, tapi ada beberapa warga yang mengabaikan karena tindakan tersebut termasuk bid’ah.





TUJUAN SELAMATAN

Selamatan atau Bancaan sendiri memiliki tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah Yang maha Kuasa.

BENTUK AKULTURASI

Selamatan merupakan salah satu tradisi masyarakat Jawa yang mengalami akulturasi. Masyarakat Jawa dikenal dengan tradisi budayanya yang kental dan dipengaruhi oleh ajaran dan kepercayaan dari kebudayaan Hindu-Budha. Oleh karena itu, para ulama Islam yang menyebarkan agama Islam di Jawa, atau lebih dikenal sebagai Wali Songo, melakukan langkah akulturasi sebagai cara mereka untuk mengajarkan ajaran agama Islam ke dalam lingkungan masyarakat Jawa. Pencampuran ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekagetan terhadap budaya baru (culture shock) pada masyarakat Jawa sehingga dapat menerima dan mengamalkan ajaran agama Islam secara sukarela.

Pada masa sebelum Islam masuk ke Indonesia, selamatan diadakan untuk berterimakasih kepada para dewa dan leluhur mereka atas nikmat yang diberikan. Tradisi ini dilakukan dengan menyiapkan berbagai jenis makanan untuk dijadikan sesajen. Setelah Islam masuk, Selamatan saat ini diartikan sebagai suatu acara yang diadakan sebagai bentuk syukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Selamatan ini dilakukan dengan kehadiran beberapa anggota masyarakat yang di depannya disajikan berbagai jenis makanan dan dilakukan pembacaan do’a yang dipanjatkan kepada Allah SWT. oleh seorang tokoh terkemuka dalam masyarakat tersebut.

Selamatan dalam Islam diadakan dalam waktu tertentu misalnya selamatan pernikahan, selamatan kelahiran bayi (aqiqah), selamatan kematian (7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari), dan selamatan-selamatan lain.


Berikut adalah beberapa contoh dari "Selamatan atau Bancaan" :




Tidak ada komentar:

Posting Komentar